Perlawanan rakyat Indonesia melawan penindasan sudah berlangsung
berabad-abad, semenjak masuknya imperialisme asing di abad 16. Pada masa
sebelum terjadinya imperialisme di Indonesia, corak kehidupan bangsa
mengikuti sistem feodalisme.
Pra-imperialisme asing
Pada masa feodalisme murni ini, terjadi pemusatan kekuasaan pada
segelintir kelompok masyarakat yang dikenal sebagai kaum bangsawan, dan
dipimpin oleh seorang raja atau sultan.
Dalam menjalankan roda perekonomian di daerah kekuasaannya para
bangsawan menjalankan usaha agraris (pertanian) yang dilaksanakan oleh
para tuan tanah, di mana para tuan tanah memerintahkan petani penggarap
untuk bercocok tanam sesuai dengan apa yang diperintahkan para tuan
tanah. Hasil dari pertanian yang dijalankan petani penggarap di berikan
sepenuhnya kepada tuan tanah, dan sebagai upah atas kerja petani
penggarap hanya diberikan sedikit hasil tani yang dapat menghidupinya
sesuai dengan tingkat kebutuhan hidup yang sangat sederhana. Dan mereka
diberi lokasi tempat tinggal di sekitar tanah garapan yang sebenarnya
tanpa disadari petani juga dijadikan sebagai penjaga tanah dan
garapannya tersebut.
Penjualan dan distribusi hasil tani dijalankan para tuan-tuan tanah
dengan dibantu kelompok pedagang yang memilik akses ke berabagi daerah
lain yang membutuhkan hasil-hasil pertanian tersebut. Keuntungan yang
didapat dimiliki sepenuhnya oleh para tuan tanah. Sebagai imbalan ke
pihak bangsawan, tuan tanah memberikan berupa upeti atau persembahan
yang pada dasarnya memohon agar mereka diberi hak lagi untuk menjalankan
usaha di lokasinya.
Di sini dapat dilihat bahwa pada corak kehidupan feodal, penindasan
terhadap rakyat kecil (dapat dianggap bahwa para petani atau petani tak
bertanah mempunyai kelompok masyarakat yang berjumlah besar dibanding
kelompok masyarakat yang lain) terjadi secara sistematis (terstruktur).
Penindasan secara langsung jelas dilakukan oleh para tuan tanah dengan
tidak memberikan imbalan yang layak kepada petani penggarap yang sesuai
dengan nilai kerja mereka. Dapat dipastikan bahwa tingkat kehidupan
petani tidak akan beranjak ke tingkat yang lebih baik sampai kapanpun.
Penindasan terhadap petani oleh tuan tanah dilakukan untuk
mendatangkan keuntungan yang maksimal bagi tuan tanah mengingat mereka
harus mengeluarkan biaya persembahan (upeti) kepada kaum bangasawan yang
menguasai secara politik.
Sistem ekonomi feodal telah membentuk struktur masayarakat sebagai berikut :
- Raja dan bangswan, mewakili kelas penguasa politik, dimana mereka membuat segala aturan dalam politik kekuasaan ataupun ekonomi.
- Tuan tanah, sebagai pemilik alat produksi (berupa tanah) dan mengambil keuntungan dari hasil produksi tersebut. Perlu diingat bahwa kepemilikan alat produksi dari si tuan tanah tidaklah didapat dari suatu mekanisme kepemilikan yang mandiri. Kepemilikan tanah diberikan oleh raja (atau bangsawan)dalam bentuk hak pengelolaan dengan imbalan upeti. Ini nantinya yang akan membedakan corak produksi kapitalisme, kepitalisme pinggiran, dan feodal.
- Pedagang, sebagai kelompok yang mendistribusikan barang. Mereka mengambil keuntungan dengan mendapatkan selisih harga beli dari tuan tanah dan harag jual pembeli di tempat lain.
- Petani penggarap,merupakan kelompok mayoritas yang secara ekonomi tidak memiliki kekuasan apapun. Mereka mengabdikan diri sepenuhnya kepada tuan tanah, imbalan yang didapat sangat minim.
(lihat bab-bab awal Zaman Bergerak)
Penghisapan ekonomi dan penindasan politik ini telah membuat kaum
tani memberontak melawan kekuasaan raja dan para bangsawan. Baik di masa
kerajaan Mataram I (abad VIII-IX), dan jauh sebelumnya, yakni masa
Kerajaan Kediri (awal abad XI-XIII), pemberontakan kaum tani yang
dimanipulir Ken Arok serta pemberontakan-pemberontakan kaum tani
lainnya.
Imperialisme asing
Tahun 1469 adalah tahun kedatangan ekspedisi mencari daerah baru
yang dipimpin Vasco da Gama (Portugis). Tujuannya mencari rempah-rempah
yang akan dijual kembali di Eropa. Kemudian menyusul penjelajah
Spanyol masuk ke Nusantara di tahun 1512. Penjelajah Belanda baru
datang ke Nusantara tahun 1596, dengan mendaratnya Cornelis de Houtman
di Banten.
Selanjutnya didirikanlah kongsi dagang VOC (Verenidge Oost Indische Compagnie)
tahun 1602. Dalam waktu singkat kapital dagang Belanda menguasai
Nusantara. Banten dikuasai, sehingga Belanda dapat mengontrol pintu
barat Nusantara, dan Makasar dikuasai agar mereka bisa mengontrol
wilayah timurnya. Di Jawa, kekuasaan raja-raja feodal dapat mereka
runtuhkan, dan menjadikan mereka antek kolonialisnya, dan keharusan
membayar contingent, pajak natura. Kekuasaan Belanda ini
terinterupsi 4 tahun dengan berkuasanya kolonialisme Inggris sampai
tahun 1813. Kolonialisme Inggris masa Raffles, adalah tonggak penting
hilangnya konsep pemilikan tanah oleh kerajaan. Sebab dalam konsep
Inggris, tanah bukan milik Tuhan yang diwakilkan pada raja, tapi milik
negara.
Karenanya pemilik dan penggarap tanah harus membayar landrente
(pajak tanah), Pajak ini mengharuskan sistim monetasi (keuangan) dalam
masyarakat yang masih terbelakang sistim monetasinya, sehingga memberi
kesempatan tumbuhnya renten dan ijon. Pengganti Raffles, Daendles,
Gubernur kolonial Belanda, meneruskan kebijaksanaan itu.
Wilayah Nusantara jatuh lagi ke tangan Belanda. Politik mereka
dijalankan dengan tetap mempertahankan kapitalisme kolonial yang
primitif; bahkan tahun 1830-1870 pemerintah Belanda menyelenggarakan
tanam paksa (Culturstelsel). Hal ini dikarenakan kebangkrutan
kas mereka, yang selama ini dihabiskan untuk menumpas
perlawanan-pelawanan rakyat di Nusantara dan perang pemisahan Belgia.
Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1. Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa,
yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib
menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2. Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;
3. Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;
4. Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;
5. Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6. Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;
7. Pembebanan berbagai macam pajak.
Hindia Belanda, Ajang Kolonialisme/Imperialis Pada pertengahan abad
19 terjadi perubahan di negeri Belanda, yaitu menguatnya kaum kapital
dagang swasta (seusai mentransformasikan monarki absolut menjadi monarki
parlementer dalam sistim kapitalisme) terjadi pula perubahan di
Nusantara/Hindia Belanda. Akumulasi kapital yang dimiliki kapitalis
dagang ini memberi basis perluasan ekspansi modalnya di Hindia Belanda,
menuntut peran kekuasaan modalnya lebih besar dari pada negara.
Logika modal seperti itu wajar, agar bisa mulus bertransformasi menjadi
kapitalis industri-swasta, mengerosi monopoli negara lebih cepat.
Namun, monopoli negara ini tidak berarti state qua state,
negara demi negara, atau negara menciptakan kelas, karena logika modal,
menyatakan bahwa negara adalah alat kaum modal, cepat atau lambat,
kaum kapital akan mengerosi campur tangan negara, terutama untuk
monopoli produksi, perdagangan dan keuangan. Perubahan syarat-syarat
kapitalisme ini pun menuntut perubahan dalam metode penghisapan dan
sistem politiknya: dari politik dagang kolonial yang monopolistik ke
politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai
akibat tuntutan swastanisasi oleh kelas borjuis yang baru berkembang.
Metode penghisapan baru yang lebih modern ini, menuntut tersedianya
tenaga produktif yang lebih modern, tanah jarahan yang lebih luas (yaitu
Sumatera), perubahan dan pembangunan sistim irigasi yang lebih modern,
tenaga kerja yang lebih banyak, terampil, dan lebih bisa menyesuaikan
diri dengan hubungan produksi pengupahan; bahkan perubahan dalam supra
struktur seperti; hukum poenale sanctie, birokrasi, bahasa, pendidikan,
bacaan dan terbitan Di sinilah awal kelahiran kaum buruh di Hindia Belanda yang berkesadaran faru pula.
Kemunculan kaum buruh dalam jumlah besar diakibatkan dengan munculnya sistem produksi baru yang mengutamakan sistem pengupahan.
Ini berbeda dengan sistem pemberian sedikit hasil tani kepada tani
penggarap seperti pada saat sistem produksi feodal. Inilah saat di mana
bangsa Indonesia mengenal sistem produksi kapitalis. Penumpukan modal
dilakukan oleh para pemilik modal yang menguasai sumber-sumber daya alam
dan suatu sistem produksi, bisa dalam bentuk pertanian atau pabrik
manufaktur.
Ciri-ciri dari corak kehidupan industri yang muncul pada masa ini :
- Munculnya kaum buruh upahan dengan sistem kerja industri kapitalis di tanah jajahan ;
- Bertebarannya pabrik-pabrik, terutama pabrik gula, karung goni tekstil, kelapa sawit dan tembakau yang dimiliki kapitalis swasta Belanda dan bangsa Eropa lainnya dan belakangan minyak serta barang galian;
- Perubahan dan pembangunan sistim pengairan baru;
- Mobilisasi tenaga kerja dalam selubung transmigrasi;
- Dikikisnya basis produksi feodal (penyakapan);
- Lahirnya lembaga-lembaga pendidikan modern;
- Lahirnya sistim hukum baru yang belum sepenuhnya mengemban ideologi liberal;
- Alat propagandanya manipulasi masalah kemanusiaan kaum sosial-demokrat kanan- atau dikenal dengan politik etis.
Di masa kapitalisme kaum buruh upahan dengan produksi yang
dihasilkannya mengalami perubahan-perubahan secara cepat. Pengolahan
tanah, perubahan sistim irigasi, penggunaan kerbau, sapi dan kuda
sebagai alat bajak dan alat angkut tambahan, mesin, pabrik, kapal laut,
roda, kereta api, bangunan pabrik, jembatan dll, seluruhnya bermuara
menjadi barang dagangan. Kesadaran dan tindakan politiknya -kesadaran
membaca, berorganisasi, kursus, rapat, demonstrasi, pertemuan umum,
persatuan, forum, debat, polemik, perpecahan, pengrahasiaan, dan
akhirnya pemberontakan dan revolusi adalah tenaga-tenaga produktif yang
terus berkembang.
Itulah wajah cara produksi kapitalis yang bersifat menghisap/menindas
dimasa Hindia Belanda, dan sedang mengalami perlawanan dari rakyat.
Kemudian setelah sukses mengikis monopoli negara atau memperlancar
swastanisasi, ekspor kapital, kapitalisme berkembang lebih jauh ke tahap
imperialisme. Artinya kapitalisme dalam momen tertentu telah
menghilangkan kontradiksi di negeri asalnya, namun kontradiksi kelas
kemudian jadi meluas ke tanah jajahan dan kompleks. Itulah tanda dari
konsekuensi hubungan sosial produksi kapitalis yang memiliki potensi
mendapatkan perlawanan dari rakyat tanah jajahan dan rakyat yang sadar
di negeri asalnya.
Tanda-tanda berkembangnya kapitalisme ke tanah jajahan sebagai hasil dari imperialisme, yaitu:
- Pemusatan produksi dan modal berkembang pesat, hingga menciptakan monopoli-monopoli yang berperan menentukan dalam kehidupan ekonomi;
- Paduan kapital bank dan industri. Di atas kapital finans ini dikembangkan oligarki finans;
- Ekspor kapital memperoleh arti penting yang luar biasa –berbeda dengan ekspor barang dagangan (komoditi)
- Pembentukan serikat-serikat kapitalis monopoli internasional yang membagi dunia di kalangan mereka sendiri;
- Pembagian wilayah atas seluruh dunia di antara negara-negara kapitalis dalam tahap tertentu sudah diselesaikan.
Di atas syarat-syarat tersebut, justru gerakan rakyat menunjukkan
elannya dalam praktek revolusi sejak akhir abad 19 hingga saat ini;
artinya, terbukti bagaimana gerakan rakyat, sebagai lompatan kualitatif
dari tenaga-tenaga produktif, terjadi pada tahap imperialisme.
Perkembangan kapitalisme persaingan bebas ke kapitalisme monopoli
akhirnya menunjukan bahwa kaum borjuasi selain berhadapan dengan kaum
buruh dalam negeri, juga berhadapan dengan seluruh rakyat di tanah-tanah
jajahannya. Ia pun menunjukkan tentang perjuangan yang dipimpin kaum
buruh pada masa imperialisme.
Kaum buruh yang terbentuk sebagai akibat dari penghisapan produksi
kapitalis, menghasilakan kesadaran akan perlunya perlawanan terhadap
pemilik-pemilik modal asing (Belanda). Ketidakpuasan mulai muncul karena
dengan upah yang sangat rendah, kaum buruh juga ahrus menghadapi
biaya-biaya kehidupan. Barang kebutuhan hidup sederahana mulai
digantikan dengan barang-barang yang lebih maju (sebenarnya diciptakan
dan diproduksi di pabrik-pabrik manufaktur yang ada). Namun demi
menghasilakan keuntungan yang besar (konsekuensi logis dari watak
seorang pemilik modal), maka barang-barang tersebut dijual dengan harga
yang cukup tinggi. Menghadapi hal ini, jelas kehidupan kaum buruh
Indonesia tidak akan mungkin meningkat. Sementara kaum pemilik modal
(Belanda) semakin menunjukkan kelebihannya dalam hal kekayaan, maka
konflik pun tidak terhindarkan.
Pruduksi kapitalis asing ini seperti disinggung di atas, menunjukkan
hasil-hasil produksi manufaktur ataupun pertanian telah berhasil
menggeser kekuatan-kekuatan produksi feodal yang masih dipegang
segelintir pribumi yang dekan dengan kekuasaan kerajaan. Sistem produksi
kapitalis ini sangat mengutamakan efisiensi, yang dibangun dari sisi
manajemen dan alat-alat produksi yang modern. Jelas ini tidak dimiliki
oleh para penguasa ekonomi feodal, yang pada akhirnya menyebabkan
kekuatan ekonomi kerajaan setempat terus merosot. Akibat hal tersebutlah
maka kekuatan kerajaan pribumi mulai menunjukkan sikap perlawanan
terhadap Belanda.
Perasaan fanatisme terhadap kerajaan sengaja dibangkitkan oleh para
raja dan bangsawan terhadap rakyatnya. Maka pada masa ini perlawanan
kaum buruh terintegrasi ke dalam perlawanan nasionalisme.
Berawal dari ketertindasan ekonomi (pengupahan, harga barang,
kesewenang-wenangan pemilik modal) dan didorong oleh rasa nasionalisme
(yang muncul kemudian setelah melihat bahwa pemilik modal tersebut
adalah bangsa lain), perlawanan tehadap kekuasaan kapitalis-imperialis
muncul dan kaum buruh menjdi basis kekuatan utama.
Perlawanan Pangeran Diponegoro berawal dari adanya penyerobotan tanah
oleh kapitalis Belanda (dengan didukung kekuatan militer pemerintah
Belanda) terhadap tanah milik keluaraga kesultanan, perlawanan
Sisingamraja XII juga berawal dari masalah tanah.Perang Aceh yang
terjadi sangat lama berawal dari penguasaan bandar Malaka oleh Belada
yang mengakibatkan kemajuan di bandar-bandar pelabuhan milik kerajaan
Aceh. Maka Belandapun memutuskan untuk menyerang Aceh. Ini juga
memperlihatkan bahwa persaingan ekonomi kerajaan pribumi dengan Belanda
menjadi dasar bagi munculnya perlawanan nasionalisme.
KEBANGKITAN GERAKAN BURUH DI INDONESIA
Perjuangan buruh di Indonesia memiliki sejarah yang panjang, bersamaan dengan bangkitnya kesadaran nasionalisme.
Pada awal abad 20, praktis seluruh kerajaan di bumi nusantara telah
dikuasai pemerintah Belanda. Dengan demikian babak sejarah perlawanan
kerajaan-kerajaan telah selesai. Bersamaan dengan itu pemerintah Belanda
yang dikuasai oleh partai Liberal mulai menegok ke pembangunan sumber
daya manusia di Indonesia, yang sebenarnya juga merupakan kepentingan
Belanda untuk mendapatkan tenaga murah (dari kaum pribumi) dan tetap
membawa keuntungan (yang lebih besar) ke negeri Belanda. Maka dikenallah
program Politik Etis. Salah satu programnya adalah pendidikan (educatie),
disamping program irigasi, dan transmigrasi. Dengan pembukaan
sekolah-sekolah baru (berorientasi ke Eropa) maka muncullah berbagai
pengetahuan baru ke Indonesia. Salah satunya mengenai organisasi.
Salah seorang murid STOVIA, RM Tirto Adisuryo (berasal dari bangsawan
rendah Jawa) mendirikan Serikat Priayi, yang berangotakan para
bangasawan pengenyam pendidikan Belanda. Namun Serikat priayi tidak
berumur panjang. Organisasi ini yang semula direncanakan menjadi alat
perjuangan kaum intelektual, menjadi tidak realistis. Ini
akibat dari sifat para bangsawan Jawa yang sudah sekian lama menikmati
fasilitas dari kerajaan, dan kemudahan-kemudahan dari Belanda.
Sehabis Serikat Priayi, RM Tirto Adisuryo pun mulai melihat kekuatan
lain yang cukup punya potensi. Maka bersama KH Ahmad Dahlan mendirikan
Serikat Dagang Islam (SDI). Organisasi ini dibangun setelah mereka
melihat bahwa kepentingan-kepentingan pedagang pribumi yang mayoritas
Islam mengalami kekalahan dalam persaingan dengan pedagang-pedagan
bermodal besar dari Belanda. SDI inilah organisasi modern pertama yang
berbasis kepentingan. Perbesaran SDI sangat luar biasa, dan kemudian
setelah beberapa lama, SDI diubah menjadi Sarekat Islam yang anggotanya
tidak harus berprofesi pedagang, jenis keanggotaan mulai dari kaum
petani, buruh perkebunan, buruk KA, samapai pembantu rumahtangga. Inilah
cikal bakal dari munculnya kesadaran kaum buruh Indonesia untuk
berorganisasi.
Serikat buruh pertama di Jawa didirikan pada tahun 1905 oleh
buruh-buruh kereta api dengan nama SS Bond (Staatspoorwegen Bond).
Kepengurusan organisasi ini sepenuhnya dipegang oleh orang-orang
Belanda. Pada tahun 1910, orang-orang pribumi menjadi mayoritas anggota
(826 dari 1.476 orang). Walau begitu, orang-orang pribumi tetap tidak
memiliki hak pilih atau suara dalam organisasi. Serikat buruh ini tidak
pernah berkembang menjadi gerakan yang militan dan berakhir pada tahun
1912. Pada tahun 1908 muncul serikat buruh kereta api yang lain, dengan
naman Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch
Indie (vstp) Serikat ini memiliki basis yang lebih luas ketimbang SS
Bond, Karena melibatkan semua buruh tanpa membedakan ras, jenis
pekerjaan, dan pangkat dalam perusahaan. Organisasi ini berkembang
menjadi militan, terutama sejak 1913, ketika berada di awah pimpinan
Semaun dan Sneevliet. Kedua tokoh itu juga tercatat sebagai tokoh
gerakan radikal di Jawa pada masa selanjutnya, dan sampai tahun
1920-an, nama-nama mereka masih sering terdengar di kalangan
pergerakan.
Juru propaganda pribumi VSTP yang pertama, Semaoen, selain bekerja
untuk serikat buruh juga menjadi ketua Sarekat Islam (SI) lokal
Semarang. Tidak seperti banyak pemimpin SI lain yang berlatar belakang
wartawan, Semaoen seorang pegawai juru tulis di perusahaan pembangun rel
kereta api. Umurnya masih sangat muda ketika memutuskan terjun ke
dunia pergerakan. Lahir 1899 dari orang tua yang bekerja sebagai buruh
kereta api, Semaoen pada usia 18 tahun telah terpilih menggantikan
Mohammad Joesoef, ketua SI Semarang sebelumnya. Semaoen banyak belajar
cara mengorganisasi buruh dari Sneevliet, tokoh sosialis-demokrat
pendiri ISDV.
Di bawah kepemimpinan Semaoen, SI Semarang tumbuh besar. Anggotanya
bertambah dengan cepat, dari hanya 1.700 orang (1916) menjadi 20.000
(1917). Berkecamuknya Perang Dunia I yang juga menyeret negara induk
Belanda ke medan perang membuat perekonomian Hindia Belanda, negeri
jajahannya, terkena imbas. Inflasi menanjak tajam, sementara upah
buruh-buruh tidak ikut naik, atau bahkan turun. Maka mulailah Semaoen
mengorganisasikan buruh-buruh SI Semarang untuk mogok. Keberhasilan
buruh perabotan mogok diikuti oleh buruh pecetakan, buruh pembuat mesin
jahit Singer, buruh bengkel mobil dan buruh transportasi kapal uap dan
perahu. Jakarta, Bandung, Surabaya dan kota-kota lain menyusul dan
menjadikan SI Semarang sebagai pemimpin pergerakan.
Menghadapi gelombang pemogokan buruh di Indonesia, pemerintah
kolonial masih bersikap netral selama motifnya ekonomi (tuntuitan
normatif). Pemerintah beranggapan bahwa usaha rakyat untuk mengangkat
taraf hidupnya akan berpengaruh baik pada kesadaran politik kaum
pribumi. Segera saja serikat-serikat buruh baru bermunculan, di samping
VSTP, PGHB (serikat guru) dan PPPB (serikat pegawai pegadaian pribumi),
antara lain VIPBOW (serikat buruh pekerjaan umum), PFB (serikat buruh
pabrik gula), Typografenbond (serikat buruh percetakan), Sarekat Postel
dan PPDH (serikat pegawai kehutanan). Serikat buruh terbesar adalah
VSTP, PPPB dan PFB, semuanya di bawah naungan Sarekat Islam. PPPB
dikontrol oleh SI Surabaya, sedangkan PFB oleh SI Yogyakarta.
PFB dipimpin oleh Soerjopranoto, “si raja mogok”. Berasal dari
kalangan bangsawan Pakualaman yang dikenal progresif, Soerjopranoto
membantu buruh-buruh pabrik gula menuntut kenaikan upah, perbaikan
kondisi kerja, kerja delapan jam sehari, libur dengan bayaran satu hari
dalam seminggu dan tambahan upah untuk lembur. Jika buruh-buruh berniat
mogok, mereka meminta wakil PFB hadir dan membuka cabang. Hanya dalam
setahun, PFB tumbuh menjadi serikat buruh terbesar dan paling militan
di Indonesia dengan 90 cabang dan hampir 10.000 anggota. Yogyakarta pun
menjadi pusat pergerakan baru, dengan SI sebagai motor didukung oleh
organisasi keagamaan Muhammadiyah.
Medan pergerakan Soerjopranoto meluas hingga Solo. Dari 192 pabrik
gula yang ada di Solo, PFB mempunyai cabang di 153 pabrik. Berhasilnya
pemogokan merangsang buruh-buruh lain untuk ikut mogok. Pabrik-pabrik
menghadapi aksi-aksi buruh dengan memecati para pemogok. Untuk itu PFB
juga berusaha membantu keuangan buruh-buruh yang dipecat dan
mengusahakan pekerjaan untuk mereka. Pabrik biasanya mengabulkan
tuntutan kenaikan upah, tetapi menolak untuk mempekerjakan kembali
buruh-buruh yang dipecat dan tidak bersedia mengakui PFB sebagai wakil
buruh.
Bocornya rencana pemogokan umum se-Jawa pada Juli 1920 dimanfaatkan
oleh residen Surakarta untuk menangkapi para pemimpin SI dan PFB, dengan
tuduhan bahwa aksi-aksi buruh yang bersifat ekonomi itu mulai
ditunggangi oleh aksi-aksi politik SI, sehingga dikhawatirkan “keamanan
dan ketertiban” (rust en orde) bakal guncang. Tindakan
pabrik-pabrik gula menaikkan upah buruh 20 – 30% memukul militansi
buruh-buruh dan membangkitkan ketakutan mereka terhadap majikan.
Beramai-ramai mereka mundur dari keanggotaan PFB. Tak lama PFB pun mati.
PPPB dipimpin Abdoel Moeis mendukung pemogokan buruh-buruh pegadaian
Yogyakarta. Abdoel Moeis mengusahakan negosiasi dengan pemerintah agar
buruh-buruh yang dipecat dipekerjakan kembali dan dibentuk komite
penyelidikan ketidakpuasan para buruh. Penolakan pemerintah berkembang
menjadi perjuangan nasional melawan pemerintah, karena tuntutan PPPB
didukung pula oleh Central SI, PKI, Revolutionaire Vakcentrale, Boedi
Oetomo, Muhammadiyah dan serikat-serikat buruh lainnya. Rencana
pemogokan umum PPPB pada Februari 1922 dipotong oleh pemerintah dengan
menangkapi para pemimpinnya. Dukungan pun surut, 1.000 buruh dipecat dan
PPPB runtuh.
Rencana rasionalisasi semasa Gubernur Jenderal Fock menyulut
buruh-buruh kereta api yang tergabung dalam VSTP untuk bergerak. Tahun
1923 pemerintah menghapus tunjangan biaya hidup. VSTP yang berada di
bawah kontrol kaum komunis mengancam akan menggerakkan pemogokan jika
negosiasi dengan pemerintah gagal atau ada satu saja pemimpin VSTP yang
ditangkap. Sebelum VSTP betul-betul siap untuk mogok, pemerintah
menangkap Semaoen. Kontan 10.000 buruh kereta api mogok di Semarang,
Yogyakarta, Madiun, Surabaya, Pekalongan, Tegal dan Cirebon. Pemerintah
menerjunkan tentara di sepanjang jalur kereta api, dan menangkapi para
pemimpin VSTP. Pemogokan berhenti dan VSTP hancur karena ditinggal
anggotanya.
Dimasa-masa kebesaran serikat Buruh, maka di bawah komando PKI
(Perserikatan Komunis Indonesia, merupakan organisasi yang berdiri 23
Mei 1920, organisasi progresif dan berhaluan pada garis massa pertama di
Asia), serikat-serikat Buruh komunis mulai melancarkan aksi-aksi massa
yang bertujuan mematangkan kondisi revolusi, dan diharapkan akan
mencapai puncaknya pada akhir 1926. Perencanaan aksi besar ini
terinspirasi dari kemenangan kaum Bolshevik di Rusia, Oktober 1918.
Perdebatan terjadi di antara kaum komunis sendiri atau kelompok
progresif lain yang tidak berhaluan komunis. Perdebatan yang sangat
terkenal terjadi antara Tan Malaka dengan Alimin (PKI), yang berakibat
dikeluarkananya Tan Malaka dari Komintern (Komunis Internasional).
PKI pun akhirnya memaksakan rencana aksi tersebut. Pemberontakan
pertama di Indonesia yang bertujuan langsung terhadap perebutan negara
terjadi di akhir 1926. Seperti yang diduga Tan Malaka, ternyata kondisi
rakyat Indonesia belumlah matang, terlihat dari kelambatan beberapa
daerah merespon aksi di Jawa. Penumpasan besar-besaran terjadi, militer
belanda bekerja keras untuk menumpas kekuatan massa radikal tersebut.
Usaha perjuangan pembebasan rakyat secara nasional ini, menunjukkan
betapa takutnya pemerintah Belanda terhadap aksi-aksi massa yang radikal
dan progersif. Sekitar 13.000 pejuang dibuang ke Boven Digul oleh
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebabnya adalah
ketidak-mampuan kaum radikal dalam mengkonsolidasikan secara baik dan
menyeluruh kekuatan-kekuatan potensial rakyat, yaitu kaum buruh, kaum
tani dan kaum tertindas lainnya. Sehingga kekuatan kaum radikal sendiri
tidak cukup kuat untuk menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial.
Satu pelajaran yang harus kita ambil adalah bahwa perjuangan bersenjata
adalah kebutuhan nyata massa dan merupakan kulminasi dari situasi
revolusioner perlawanan rakyat terhadap watak negara kolonial, dengan
aparat kemiliterannya, yang selama ini melakukan penghisapan/penindasan
terhadap segala bentuk perlawanan rakyat. Dengan demikian, kekalahan
perlawanan 1926/1927, adalah kekalahan gerakan pada umumnya.
Pasca 1926 panggung perjuangan politik dikuasai oleh para
pemimpin-pemimpin bearasal dari kaum intelektual, hanya sedikit yang
melakukan pembangunan di basis massa, aksi-aksi massa yang sebelum 1926
sangat marak menjadi nyaris hilang. Perdebatan-perdebatan politik hanya
terjadi di panggung-panggung politik ciptaan Belanda, seperti
Volksraad. Ini tidak lain sebagai usaha Belanda memutus hubungan antara
kaum terpelajar dengan massa rakyat. Karena akan lebih mudah bagi
Belanda menumpas kaum terpelajar yang cukup “vokal”, dengan cara membuangnya ke Belanda atau Digul.
Sejarah perjuangan ternyata bergerak maju di beberapa kaum
radikal/progersif. Pada tahun 1929 berdiri Partai Nasional Indonesia
(PNI) dibawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis
massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan
PNI, sebagai alat perlawanan kolonialisme. Dukungan yang luas atas PNI
membuat penguasa harus mengirim para aktivis PNI ke penjara, termasuk
Sukarno. Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum radikal tetap
dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif,
terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, konsistensi perjuangan
pembebasan tetap terjaga terus menerus. Kaum radikal kembali
mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan rakyat dengan membentuk Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo) dibawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun
l939 Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front
bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan
Politik Indonesia (GAPI). Dengan GAPI kaum radikal berharap dapat
menggunakan perjuangan anti fasisme sekaligus keperjuangan
anti-kolonialisme.
Sementara itu di Erapa, tahun 1939 Perang Dunia II meletus ketika
Jerman dibawah Hitler menyerbu Polandia. Jepang lalu mnyerbu Hindia
Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda digantikan dengan pemerintahan
administrasi militer Kerja paksa (romusya) diberlakukan untuk membangun
infrastruktur perang seperti pelabuhan, jalan raya dan lapangan udara
tanpa di upah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang
diperbolehkan berdiri hanya organisasi boneka buatan pemerintah militer
Jepang seperti Peta, Keibodan dll. Sebab-sebab dari timbulnya PD II
adalah persaingan diantara ne gara-negara imperialis untuk memperebutkan
pasar dan sumber bahan baku. Siapapun yang menang maka kemenangannya
adalah tetap atas nama imperialisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa Perang
Dunia Kedua Adalah Perang Kaum Imperialis.
Walaupun kaum radikal mengalami jatuh bangun dalam perjuangannya,
namun garis perjuangan anti fasis tetap dipertahankan. Kaum radikal
melalui organisasi-organisasi pergerakan bawah tanah mulai membentuk
Gerakan Anti-fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom) dan
sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling konsisten
anti-fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun l943. Di lain pihak,
sebab besar kaum priyayi justru tidak mengambil praktek politik
konfrontatif terhadap fasisme Jepang. Kompromi, konsesi, dan kolaborasi
terhadap fasis Jepang menjadi Bab dari politik elit kaum feodal.
Sementara kaum demokrat-liberal terpaksa harus menjalankan taktik
politik koperasi dengan pemerintahan militer Jepang.
Revolusi Agustus 1945
Pada tanggal 17 Agustus l945 Sukarno-Hatta yang masih ragu-ragu
berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan
Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kevakuman
kekuasaan. Kevakuman kekuasaan tersebut disebabkan kekalahan Jepang
dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan
kekuasaan negara ini yang membuat proklamasi dapat dibacakan berkat
inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun l945,
juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidaklah boleh sebagai
pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan
dari para pejuang Indonesia.
Revolusi pembebasan nasional tahun l945 ternyata gagal menghasilkan
demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebab kan karena kekuatan
rakyat yang diorganisir oleh kaum radikal kerakyatan gagal mengambil
kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus ‘45
memang berhasil mengusir imperialis fasis Jepang dan menghalau
imperialisme Belanda yang berusaha untuk kembali menjajah.
Namun, sebelum kekuatan-kekuatan rakyat mampu dikonsolidasikan oleh
kaum radikal guna membentuk pemerintahan koalisi nasional, Amerika telah
mengambil inisiatif untuk menggagalkannya dengan memperalat
kekuatan-kekuatan politik yang ada di Indonesia. AS dengan dukungan
beberapa sekutunya di Indonesia lalu membuat skenario teror putih dengan
menghancurkan kaum radikal dan frontnya. Suksesnya skenario AS untuk
menjalankan red drive proposal (proposal politik untuk melenyapkan
kekuatan-kekuatan rakyat) sebenarnya juga merupakan produk tidak adanya unity of command
antara kekuatan-kekuatan rakyat yang ada di dalam negeri dengan yang di
luar negeri. Hal ini masih ditambah lagi dengan ketidak mampuan kaum
radikal dalam mengarahkan sasaran perjuangannya ke arah kaum
demokrat-liberal/borjuasi dan Imperialis, setelah kaum fasis dikalahkan
pada PD II
Dengan peristiwa tersebut, situasi revolusioner mencapai anti
klimaksnya. Hal ini hanya melicinkan jalan menuju persetujuan KMB
(Konferensi Meja Bundar) pada 2 November, 1949. Dengan adanya
persetujuan KMB, imperialisme Belanda memperoleh konsesi di lapangan
ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Revolusi Agustus ‘45 yang
adalah berwatak revolusi borjuis demokratik, hanya berhasil sebagai
revolusi pembebasan nasional (yakni berhasil mendirikan Republik
Indonesia), namun gagal mendirikan pemerintahan kerakyatan.
Perjuangan mencapai kemerdekaan melibatkan berbagai unsur dalam
masyarakat, termasuk gerakan buruh. Pada tanggal 15 September 1945
sejumlah tokoh gerakan buruh berkumpul di Jakarta untuk membicarakan
peranan kaum buruh dalam perjuangan kemerdekaan dan menentukan landasan
bagi gerakan buruh. Pada pertemuan tersebut para wakil gerakan buruh
sepakat mendirikan sebuah organisasi yang mewakili seluruh serikat buruh
yang ada. Organisasi itu diberi nama Barisan Boeroeh Indonesia (BBI).
Pilihan nama ‘barisan’ tersebut harus diletakkan pada konteks zamannya,
yaitu ketika orang-orang Indonesia masih terlibat dalam perang
kemerdekaan sampai tahun 1949. Dalam konferensi tersebut, BBI juga
menuntut Komite Nasional Indonesia untuk memberi pengakuan terhadap
organisasi tersebut. Karena sulitnya komunikasi dengan wilayah lain,
maka gerakan buruh di luar Jawa mendirikan organisasi mereka
masing-masing.
Di Sumatra misalnya pada bulan Oktober 1945 telah berdiri Persatoean
Pegawai Negara Repoeblik Indonesia (PPNRI). Komite Nasional Indonesia
sementara itu juga menyerukan kepada perwakilan-perwakilan di daerah
untuk mendukung pembentukan serikat-serikat buruh. Dalam perjuangan
fisik, kaum buruh bergabung dalam Lasjkar Boeroeh Indonesia (LBI) yang
dengan cepat didirikan di berbagai kota. Pada awalnya belum ada
koordinasi yang jelas, sampai pada sebuah konferensi di Blitar pada
bulan Desember 1945. Soediono Djojoprajitno terpilih sebagai ketua badan
pimpinan. LBI ini juga ditetapkan sebagai badan yang secara organisasi
terlepas dari BBI dan tidak memiliki hubungan apa-apa.
Di kalangan buruh perempuan, didirikan Barisan Boeroeh Wanita yang
diketuai oleh SK Trimurti. Kegiatannya ditujukan untuk memberi
pendidikan dan kesadaran pada kaum buruh perempuan, tentang perlunya
persatuan. Pada tanggal 1 Mei 1946 (Perayaan Hari Buruh), BBW telah
berhasil mengumpulkan calon pemimpin buruh perempuan untuk dilatih
selama dua bulan. BBI mendapat dukungan kuat dari Menteri Sosial RI yang
pertama, Mr. Iwa Kusumasumantri. Pada bulan November 1945, BBI
mengadakan kongres pertama yang dihadiri bukan hanya oleh
aktivis-aktivis BBI dan cabang-cabangnya, tapi juga dari aktivis-aktivis
gerakan buruh yang tersebar di Sumatera dan pulau-pulaunya.
Sjamsju Harja Udaja, seorang pemimpin BBI, mengajukan rancangan untuk
mengubah BBI menjadi partai politik. Rancangan ini mengundang
perdebatan di antara para tokoh. Sebagian bertujuan untuk membangun BBI
sebagai suatu federasi buruh yang kuat, bebas dari partai-partai
politik dan siap menggunakan pengaruhnya terhadap setiap pemerintahan
bila perlu. Golongan lainnya, di bawah pimpinan Sjamsju Harja Udaja
berusaha untuk menjadikan BBI sebuah partai politik yang menjadi alat
politik dari gerakan buruh. Akhirnya mereka sepakat untuk mendirikan
partai, tanpa harus membubarkan BBI. Partai Boeroeh Indonesia (PBI)
muncul sebagai hasil kongres tersebut, dengan Sjamsju Harja Udaja
sebagai ketua. Para aktivis yang tidak setuju dengan pembubaran BBI,
terus menjalankan kegiatan organisasi ini.
Cabang-cabang yang ada diperkuat, dan sangat berpengaruh pada gerakan
buruh selanjutnya. Cabang Jakarta misalnya, dipimpin oleh Njono yang
pada dekade 1950-an menjadi Sekjen SOBSI. Dalam perkembangan
selanjutnya, terutama setelah bulan Januari 1946 PBI semakin menganggap
diri sebagai partai oposisi dan oleh pemerintah diperlakukan seperti
yang mereka kehendaki. Dalam kegiatannya, PBI menyebarkan gagasan
sindikalis; instalasi industri yang diambilalih oleh buruh harus tetap
dipegang oleh buruh, dan bukan oleh pemerintah. Perusahaan harus
dijalankan kembali oleh buruh-buruhnya. Sikap bertentangan ditunjukkan
oleh Partai Sosialis yang menguasai kabinet (Sjahrir) dan akibatnya PBI
tidak mendapat sambutan luas sebagaimana mereka harapkan sebelumnya.
Kelas buruh (industri) pada masa itu masih merupakan bagian kecil saja
dari penduduk dan belum terorganisir secara politik, sehingga terlalu
kecil untuk menjadi basis politik yang benar-benar kuat.
Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk,
seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api
(SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri),
Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh
Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri
(SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan
sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi
tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh
pemerintah Hindia Belanda.
Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul
keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan
federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada
tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh
Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini juga
terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang
dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di dalamnya.
Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB
Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka
kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan
Juli 1946.
‘Perpecahan’ ini tak berlangsung lama dan tanggal 29 November 1946
didirikan Sentral Organisasi Boeroeh Indonesia (SOBSI), yang
menggantikan kedua federasi sebelumnya. Organisasi ini dipimpin oleh
tokoh-tokoh gerakan buruh seperti Harjono, Asrarudin, Njono dan Surjono.
Organisasi ini juga mendapat dukungan dari sejumlah kekuatan politik
seperti Partai Sosialis, PBI, Pesindo, PBI, Barisan Tani yang mendukung
pemerintahan Sjahrir di masa itu. Dalam azas pendiriannya dinyatakan
bahwa SOBSI bukan partai politik, tapi dalam perjuangannya akan
bekerjasama dengan partai-partai politik. Dasar organisasi yang dipilih
SOBSI adalah demokratis-sentralisme, artinya pengurus sentral dalam
melakukan tugas-tugasnya bertanggung jawab pada kongres.
Federasi ini dengan cepat mendapat sambutan dari serikat-serikat
buruh yang lain. LBI yang semula berdiri sendiri, dimasukkan ke dalam
SOBSI juga mendapat perhatian, terlihat dari undangan yang dikirim WFTU
untuk menghadiri sidang umum di Praha, Cekoslovakia. Sebagai wakilnya,
SOBSI mengirim Setiadjid dan Oei Gie Hwat. Pada masa perang, dengan
adanya blokade Belanda, maka hubungan badan sentral dengan
cabang-cabangnya tidak berjalan dengan lancar. Perpecahan sesudah
Perjanjian Renville tidak dapat dihindari karena adanya perbedaan
pendapat dalam garis politik. SOBSI pada dekade 1950-an menjadi federasi
serikat buruh terkuat di Indonesia, baik dari segi jumlah maupun
aktivitasnya.
Golongan yang tidak setuju dengan pemerintahan Sjahrir, membentuk
Gaboengan Serikat Boeroeh Revoloesioner Indonesia (GASBRI). Ketika
terjadi Peristiwa Madiun 1948, sejumlah tokoh SOBSI mati ditembak atau
ditangkap. Sejumlah tokoh lainnya yang berhasil menyelamatkan diri,
terus bergerak, walaupun tidak dapat tampil ke permukaan. 16 serikat
buruh yang semula bergabung dengan SOBSI memisahkan diri dari federasi
tersebut.
Para tokoh yang semula bergabung kembali pada bulan Juli 1949, dan
mendirikan Himpunan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (HISSBI),
bergabung di bawah Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia (GSBI). HISSBI
tidak bertahan lama, dan hilang seiring dengan tampilnya SOBSI ke
panggung gerakan buruh Indonesia. Di samping kedua federasi yang besar
itu, golongan Islam mendirikan Serikat Boeroeh Islam Indonesia (SBII),
tanggal 27 November 1948. Tidak seperti SOBSI, organisasi ini tidak
memiliki hubungan yang dekat dengan pemerintah RI. Sementara itu di luar
wilayah republik, pada periode 1946-49 terjadi sejumlah perkembangan
dalam gerakan buruh.
Di Jakarta, didirikan dua buah organisasi buruh yang dikendalikan
orang-orang Tionghoa, yaitu Federasi Perkoempoelan Boeroeh Seloeroeh
Indonesia (FPBSI), dan Poesat Organisasi Boeroeh (POB). Sementara itu di
beberapa kota pulau Sumatra, organisasi buruh bermunculan, begitu pula
di Kalimantan. Di Bogor, didirikan Gaboengan Serikat Boeroeh Indonesia
(GABSI), dan di Purwakarta, organisasi sejenis dibentuk dengan nama
Ikatan Serikat Boeroeh Indonesia (ISBI). Di Surabaya didirikan Gaboengan
Perserikatan Boeroeh Indonesia (GPBI) dan Federasi Boereoh Indonesia
(FBI). Di luar Pulau Jawa, sejumlah organisasi berdiri di Balikpapan,
Banjarmasin, Makassar (Ujung Pandang), Pare-Pare, Manado dan lainnya.
Begitu banyaknya jumlah organisasi yang tidak jarang mengklaim diri
mereka sebagai federasi tentu memiliki alasan tertentu. Perbedaan
pendapat mengenai dasar organisasi dan persepsi politik adalah sumber
perpecahan yang amat umum. Perpecahan dan penggabungan merupakan
pemandangan umum pada masa itu. Kehidupan sosial-politik yang demokratis
pada masa pasca-Proklamasi tidak mengizinkan terjadinya
tindakan-tindakan sentraisasi yang amat ketat. Semua tindakan yang
kelihatan mengarah pada sentralisasi, segera dituding sebagai tindakan
yang tidak demokratis dan tidak sejalan dengan perjuangan kepentingan
kaum buruh. Walau begitu sulit untuk menilai bahwa masa itu merupakan
masa kekacauan, dalam pengertian tidak adanya serikat buruh yang dapat
dijadikan pegangan. Pandangan yang melihat gejala tersebut (sampai tahun
1957) sebagai keruntuhan demoksi, sebenarnya telah melandaskan
gagasannya pada perkembangan demokrasi yang terjadi di Barat. Pandangan
seperti itu tak dapat dibenarkan, karena cenderung mengabaikan
pengalaman historis kelas buruh Indonesia.
Buruh yang terlibat dalam organisasi tertentu di tahun 1950-an
jumlahnya mencapai antara 3-4 juta orang. Kaum buruh ini bergabung di
bawah sekitar 150 serikat buruh nasional, dan ratusan serikat buruh
lainnya di tingkat lokal, yang tak memiliki afiliasi di tingkat
nasional. Serikat-serikat buruh nasional memiliki jumlah anggota yang
beragam. Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) misalnya
mengklaim anggotanya sebanyak 600.000 orang. Sementara serikat buruh
nasional seperti Perhimpunan Ahli Gula Indonesia (PAGI) hanya memiliki
600 anggota. Label ‘nasional’ yang dikenakan dengan begitu tidak
menjamin jumlah anggota yang banyak. Di antara ratusan serikat buruh
itu, dapat dilihat adanya empat federasi serikat buruh yang cukup besar
dan tiga federasi yang lebih kecil, serta sejumlah organisasi lainnya
yang juga mengklaim dirinya sebagai federasi. Keempat federasi serikat
buruh itu adalah :
- SOBSI dengan anggota sekitar 60% dari seluruh jumlah buruh yang terorganisir. Federasi ini memiliki organisasi yang baik, dan paling efisien dari segi administrasi. Seperti diketahui, federasi ini dibentuk di tahun 1946 ketika Indonesia sedang berada dalam perang kemerdekaan. Kementerian Perburuhan di tahun 1956 menyatakan federasi ini memiliki 2.661.970 anggota. Organisasi ini memiliki hubungan erat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kembali ke panggung politik pada tahun 1951 di bawah pimpinan Dipa Nusantara Aidit. SOBSI terdiri atas 39 serikat buruh nasional dan sekitar 800 serikat buruh lokal. Di antaranya yang cukup penting adalah SBG, Sarbupri, Sarbuksi (Kehutanan), SBPP (Pelabuhan), SBKA, SBKB (Kendaraan Bermotor), SERBAUD (Angkatan Udara), SB Postel, Perbum (Minyak), SBTI (Tambang), SBIM (Industri Metal), SBRI (Rokok), Sarbufis (Film), SBKP (Kementerian Pertahanan), Kemperbu, SBPU (Pekerjaan Umum), SEBDA, dan SBPI (Percetakan). SOBSI juga memiliki afiliasi dengan World Federation of Trade Unions (WFTU). Njono yang menjadi Sekretaris Umum SOBSI juga menjabat sebagai Wakil Presiden WFTU.
- Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI), yang didirikan pada tanggal 12 Mei 1953 terdiri atas serikat-serikat buruh yang non komunis. Jumlah anggotanya saat pembentukan mencapai 800. 000 orang, tapi segera berkurang seiring dengan terjadinya perpecahan di tingkat kepemimpinannya. Serikat buruh yang menjadi pendukung federasi ini adalah PERBUPRI (perkebunan), PBKA (kereta api), SKBM (minyak), SBP (pertambangan), SBKPM (penerbangan), OBPSI (perniagaan). Organisasi ini tak memiliki afiliasi dengan organisasi buruh internasional, dan amat terbatas kegiatannya pada hal-hal yang berhubungan dengan keadilan sosial.
- SBII didirikan di bulan November 1948 oleh tokoh-tokoh Partai Islam, Masyumi yang menyadari pentingnya gerakan organisasi buruh sebagai basis pendukung partai. Pada tahun 1956 anggotanya diklaim sebanyak 275.000 orang dari berbagai bidang pekerjaan. Pimpinan SBII ini dipegang oleh Mr. Jusuf Wibisono, anggota Presidium Masyumi dan pernah menjadi Menteri Keuangan. Sesuai dengan nama yang disandang, organisasi ini melandaskan gagasannya pada ajaran-ajaran Quran. SBII ini memiliki afiliasi dengan International Conference of Free trade Unions (ICFTU). Selain itu SBII juga mengadakan kontak dengan gerakan buruh di negara-negara Islam.
- Kesatuan Buruh Kerakjatan Indonesia (KBKI) didirikan pada tanggal 10 Desember 1952. Organisasi ini semula bernama, Konsentrasi Buruh Kerakjatan Indonesia, dan memiliki hubungan dengan Partai Nasional Indonesia. Dalam salah satu pernyataannya tertulis bahwa organisasi ini bekerja bersama PNI dalam mencapai tujuan-tujuannya. Azas yang melandasi organisasi ini adalah Marhaenisme (ajaran Soekarno). Pada tahun 1955 organisasi ini mengklaim memiliki anggota sebanyak 95.000 orang. KBKI ini juga adalah anggota PNI, dan keberhasilan KBKI dalam menggalang kekuatan (di tahun 1958 ditaksir jumlah anggotanya lebih dari setengah juta orang) tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan PNI. Walaupun berhubungan dengan gerakan buruh di luar negeri, dan turut berpartisipasi dalam aktivitas internasional, KBKI tetap memilih tidak bergabung dengan organisasi internasional.
Referensi :
- Zaman bergerak
- Sejarah Gerakan Buruh
- Orang-orang di persimpanghan kiri jalan
0 komentar:
Posting Komentar