Senin, 22 Oktober 2012

UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

Konfederasi KASBI
 
 
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN INFORMASI KETENAGAKERJAAN


Pasal 7
1. Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
2. Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a. Perencanaan tenaga kerja makro ; dan
b. Perencanaan tenaga kerja mikro.
3. Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada perencanaan tenaga kerja sebagaimana pada ayat (1).

Pasal 8
1. Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan yang antara lain meliputi :
a. Penduduk dan tenaga kerja ;
b. Kesempatan kerja ;
c. Pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja ;
d. Produktivitas tenaga kerja ;
e. Hubungan industrial ;
f. Kondisi lingkungan ;
g. Pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h. Jaminan sosial tenaga kerja.
2. Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperoleh dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
3. Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PELATIHAN KERJA

Pasal 9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan, produktivitas, dan kesejahteraan.

Pasal 10
1. Pelatihan kerja dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
2. Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang mengacu pada standar kompetensi kerja.
3. Pelatihan kerja dapat dilakukan secara berjenjang.
4. Ketentuan mengenai tata cara penetapan standar kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.

Pasal 12
1. Pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi pekerjanya melalui pelatihan kerja.
2. Peningkatan dan/atau pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwajibkan bagi pengusaha yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan Keputusan Menteri.
3. Setiap pekerja/buruh memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja dengan bidang tugasnya.

Pasal 13
1. Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah dan/atau lembaga pelatihan kerja swasta.
2. Pelatihan kerja dapat diselenggarakan di tempat pelatihan atau tempat kerja.
3. Lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menyelenggarakan pelatihan kerja dapat bekerja sama dengan swasta.

Pasal 14
1. Lembaga pelatihan kerja swasta dapat berbentuk badan hukum Indonesia atau perorangan.
2. Lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin atau mendaftar ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
3. Lembaga pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah mendaftarkan kegiatannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota.
4. Ketentuan mengenai tata cara perizinan dan pendaftaran lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 15
Penyelenggaraan pelatihan kerja wajib memenuhi persyaratan :
a. Tersedianya tenaga kepelatihan ;
b. Adanya kurikulum yang sesuai dengan tingkat pelatihan ;
c. Tersedianya sarana dan prasarana pelatihan kerja; dan
d. Tersedianya dana bagi kelangsungan kegiatan penyelenggaraan pelatihan kerja.

Pasal 16
1. Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi.
2. Lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
3. Organisasi dan tata kerja lembaga akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 17
1. Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di kabupaten/kota dapat menghentikan sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja, apabila di dalam pelaksanaannya ternyata :
a. Tidak sesuai dengan arah pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; dan/atau
b. Tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
2. Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai alasan dan saran perbaikan dan berlaku paling lama 6 (enam) bulan.
3. Penghentian sementara pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan kerja hanya dikenakan terhadap program pelatihan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 15.
4. Bagi penyelenggara pelatihan kerja dalam waktu 6 (enam) bulan tidak memenuhi dan melengkapi saran perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sanksi penghentian program pelatihan.
5. Penyelenggara pelatihan kerja yang tidak menaati dan tetap melaksanakan program pelatihan kerja yang telah dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan sanksi pencabutan izin dan pembatalan pendaftaran penyelenggaraan pelatihan.
6. Ketentuan mengenai tata cara penghentian sementara, penghentian, pencabutan izin, dan pembatalan pendaftaran diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 18
1. Tenaga kerja berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintahan, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja.
2. Pengakuan kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sertifikasi kompetensi kerja.
3. Sertifikasi kompetensi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat pula diikuti oleh tenaga kerja yang telah berpengalaman.
4. Untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja dibentuk badan nasional sertifikasi profesi yang independen.
5. Pembentukan badan nasional sertifikasi profesi yang independen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19
Pelatihan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, derajat kecacatan, dan kemampuan tenaga kerja penyandang cacat yang bersangkutan.

Pasal 20
1. Untuk mendukung peningkatan pelatihan kerja dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, dikembangkan satu sistem pelatihan kerja nasional yang merupakan acuan pelaksanaan pelatihan kerja di semua bidang dan/atau sektor.
2. Ketentuan mengenai bentuk, mekanisme, dan kelembagaan sistem pelatihan kerja nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21
Pelatihan kerja dapat diselenggarakan dengan sistem pemagangan.

Pasal 22
1. Pemagangan dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta dengan pengusaha yang dibuat secara tertulis.
2. Perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta dan pengusaha serta jangka waktu pemagangan.
3. Pemagangan yang diselenggarakan tidak melalui perjanjian pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap tidak sah dan status peserta berubah menjadi pekerja/buruh perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 23
Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi.

Pasal 24
Pemagangan dapat dilaksakan di perusahaan sendiri atau di tempat penyelenggaraan pelatihan kerja, atau perusahaan lain, baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia.

Pasal 25
1. Pemagangan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia wajib mendapat izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pemagangan harus berbentuk badan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Ketentuan mengenai tata cara perizinan pemagangan di luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 26
1. Penyelenggaraan pemagangan di luar wilayah Indonesia harus memperhatikan :
a. Harkat dan martabat bangsa Indonesia;
b. Penguasaan kompetensi yang lebih tinggi ; dan
c. Perlindungan dan kesejahteraan peserta pemagangan, termasuk melaksanakan ibadahnya.
2. Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan pemagangan di luar wilayah Indonesia apabila di dalam pelaksanaannya ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 27
1. Menteri dapat mewajibkan kepada perusahaan yang memenuhi persyaratan untuk melaksanakan program pemagangan.
2. Dalam menetapkan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri harus memperhatikan kepentingan perusahaan, masyarakat, dan negara.

Pasal 28
1. Untuk memberikan saran dan pertimbangan dalam penetapan kebijakan serta melakukan koordinasi pelatihan kerja dan pemagangan dibentuk lembaga koordinasi pelatihan kerja nasional.
2. Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga koordinasi pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 29
1. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.
2. Pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan ditujukan ke arah peningkatan relevansi, kualitas dan efisiensi penyelenggaraan pelatihan kerja produktivitas.
3. Peningkatan produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan melalui pengembangan budaya produktif, etos kerja, teknologi, dan efisiensi kegiatan ekonomi, terwujudnya produktivitas nasional.

Pasal 30
1. Untuk meningkatkan produktivitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dibentuk lembaga produktivitas lembaga produktivitas yang bersifat nasional.
2. Lembaga produktivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring kelembagaan pelayanan peningkatan produktivitas, yang bersifat lintas sektor maupun daerah.
3. Pembentukan, keanggotaan, dan tata kerja lembaga produktivitas nasional sebagaimana pada ayat (1), diatur dengan Keputusan Presiden.

BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA

Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang di dalam atau di luar negeri.

Pasal 32
1. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
2. Penempatan tenaga diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan perlindungan hukum.
3. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sasuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.

Pasal 33
Penempatan tenaga kerja terdiri dari :
a. Penempatan tenaga kerja di dalam negeri ; dan
b. Penempatan tenaga kerja di luar negeri.

Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf (b) diatur dengan undang-undang.

Pasal 35
1. Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.
2. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja.
3. Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.

Pasal 36
1. Penempatan tenaga kerja oleh pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan dengan memberikan pelayanan penempatan tenaga kerja.
2. Pelayanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terpadu dalam satu sistem penempatan tenaga kerja yang meliputi unsur-unsur :
a. Pencari kerja ;
b. Lowongan pekerjaan ;
c. Informasi pasar kerja ;
d. Mekanisme antar kerja ; dan
e. Kelembagaan penempatan tenaga kerja .
3. Unsur-unsur sistem penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan secara terpisah yang ditujukan untuk tewujudnya penempatan tenaga kerja.

Pasal 37
1. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri dari :
a. Instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan ; dan
b. Lembaga swasta berbadan hukum.
2. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf (b) dalam melaksanakan pelayanan penempatan tenaga kerja wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 38
1. Pelaksana penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf (a), dilarang memungut biaya penempatan, baik langsung maupun tidak langsung, sebagian atau keseluruhan kepada tenaga kerja dan pengguna tenaga kerja.
2. Lembaga penempatan tenaga kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf (b), hanya dapat memungut biaya penempatan tenaga kerja dari pengguna tenaga kerja dan dari tenaga kerja golongan dan jabatan tertentu.
3. Golongan dan jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Pasal 39
1. Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
2. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
3. Semua kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah di setiap sektor diarahkan untuk mewujudkan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
4. Lembaga kewangan baik perbankan maupun non perbankan, dan dunia usaha perlu membantu dan memberikan kemudahan bagi setiap kegiatan masyarakat yang dapat menciptakan atau mengembangkan perluasan kesempatan kerja.

Pasal 40
1. Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan tepat guna.
2. Pencipta perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.

Pasal 41
1. Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan kerja.
2. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
3. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur masyarakat.
4. Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Development by GSBM-KASBI BEKASI | Bloggerized by Supriyadi Anc - Konfederasi KASBI | Facebook Pusat Konfederasi KASBI